Saturday, August 28, 2010

15 MENIT ISTIMEWA

Tulisan Fatantia Husnaeni

Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai siswi SMA. Aku sangat senang bisa mendapat beasiswa dan masuk ke SMA favorit. SMA Kartini. Ya, sekolah ini sangat bagus dan elit. Hanya orang-orang yang mempunyai uang saja yang dapat masuk. Tapi, nyatanya aku sangat beruntung.

“Ajeng!”, seseorang memanggil namaku ketika aku masuk gerbang. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan wajah sumringah. Ia menghampiriku. “Lo masuk sini juga?”, tanyanya.
Ya, aku ingat sekarang. Namanya Fatir, teman SD ku dulu. Ia terlihat sangat dewasa. Dulu di SD, kami selau bersama sampai akhirnya Fatir pindah ke luar kota. Dan akhirnya kami bertemu lagi.
“Woy! Ajeng! Ko malah bengong? Lo Ajeng kan?”
ia membuyarkan lamunanku. “Iya, gue Ajeng. Gue nggak nyangka aja bisa ketemu lo disini!” kataku.
“Gue juga. Ya ampun, gue kangen banget sama lo!” katanya, seraya memelukku.
“Heh!” kulepaskan pelukannya. “Gue juga kangen sama lo. Tapi nggak usah peluk-peluk. Kita ini udah gede! Malu tau diliat orang!”
“Bodo! Yang penting gue kangen lo! Oh ya, gimana caranya lo masuk sini?” Tanya Fatir.
“Gue dapet beasiswa. Kalo lo?”
“Gue juga.”
“Kita sama!” kata kami serempak.
“Udah yuk! Masuk kelas.” Ajak Fatir.
“Ayo!”

***

Aku dan Fatir ternyata berbeda kelas. Awalnya kami kecewa. Tapi tak apa. Yang penting kami tetap satu sekolah. Aku pun memasuki kelas yang sudah sangat ramai. Aku mencari tempat duduk yang kosong dan betapa beruntungnya aku, kursi kosongnya tinggal satu yang paling depan.
“Boleh gue duduk disini?” tanyaku pada seorang siswi.
“Oh, silahkan. Kebetulan gue belum dapet teman duduk.” Katanya ramah.

Aku pun duduk di sebelahnya dengan senang.
“Oh iya, gue Ajeng.” Ucapku seraya mengulurkan tangan. Ia menyambutnya dengan senyum yang manis.
“Gue Angel.” Kami pun saling memperkenalkan diri dan bercerita tentang pengalaman masing-masing. Ternyata, Angel teman yang sangat menyenangkan. Karena terlalu asyik ngobrol, tak terasa bel istirahat berbunyi.
“Jeng, ke kantin, yuk!” ajak Angel.
“Boleh boleh! Gue juga mau sekalian bantuin Tante gue di kantin.”

***

“Minumannya 2, 2 dong!”
“Mienya, cepetan! Nggak pake lama deh!”
“Iya, iya sebentar. Sabar ya.” kataku pada pelanggan-pelanggan.
Aku sangat sibuk sekarang. Membantu Tante berjualan di kantin. Tante bekerja keras seperti ini, demi memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari. Ayah-Ibuku sudah lama meninggal. Jadi, aku tak punya saudara lagi selain Tante.
“Akhirnya selesai juga.” kataku yang tengah duduk di samping Angel.
Angel tersenyum, “Lo pasti cape. Nih, minum!” katanya, menyodorkan minuman.
“Makasih ya.”

“Ajeng! Kemana aja sih lo? Gu nyariin lo dari tadi. Eh teryata ada disini.” Fatir menghampiriku.
“Gue dari tadi disini. Ada apa nyari gue?” tanyaku.
“Pengen ngobrol aja, hehe.”
“Oh iya, kenalin, Tir! Ini Angel. Angel, ini Fatir.” kataku memperkenalkan.
“Iya, salam kenal ya!”

Di saat kami bertiga asyik mengobrol, tiba-tiba datang seorang cowo dengan wajah angkuh dan seorang cewe berdandanan modis. Mereka duduk di kantin.
“Mereka itu siapa sih? Gayanya sombong banget?”, tanyaku.
“Mereka itu Yudha sama Vita, yang bersahabat dari kecil. Orang tua mereka donator terbesar di sekolah ini.” terang Angel.
“Oh, pantesan.” Fatir hanya ber-ooh ria.
“Tapi nggak usah segitunya juga. Sebel gue ngeliatnya. Yang kaya itu kan orang tuanya bukan mereka. Ngapain sih ngebanggain harta? Nggak penting!” kataku ketus.
“Mereka sebenernya baik ko, Jeng.” kata Angel.
“Ya, mudah-mudahan.” Aku dan Fatir hanya mengangkat bahu.
Bel berbunyi, kami pun kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya.

***

Esokya, aku berangkat ke sekolah. Aku sudah terbiasa pergi dengan berjalan kaki. Di perjalanan ke sekolah, tiba-tiba ada motor yang melaju kencang melewati kubangan air. Cipratan air itu mengenai baju seragamku hingga basah dan kotor.
“Hey! Kalo nyetir liat-liat!” teriakku kesal.
Tapi motor itu terus melaju. Aku pun mengingat plat nomornya, “YUDH4”.

“Awas aja kalo ketemu lagi!” geramku dalam hati. Kubersihkan cipratan itu, meskipun tak hilang semua. Sampai di sekolah, banyak anak-anak lain yang memperhatikanku. Mereka melihat seragamku yang kotor dan basah. Kupercepat langkahku. Tapi, langkahku terhenti ketika melihat seorang cowo turun dari motor merah dengan plat nomor “YUDH4”. Sama persis dengan yang tadi pagi.
“Ini dia orangnya!”. Aku menariknya ke sudut sekolah dan melabraknya. “Jadi lo orang yang nyipratin gue tadi pagi! Liat nih!” aku menunjukkan bagian seragamku yang kotor. “Baju gue jadi kotor gara-gara lo!” makiku.
“Oh, tadi gue buru-buru” jawabnya singkat. “Oh? Cuma itu yang lo bilang?” aku semakin kesal.
“Loh? Emang apa lagi?”
“Dasar belagu! Bukannya minta maaf!”
“Buat apa? Gue nggak salah. Siapa suruh jalannya ke tengah-tengah?” jawabnya.
“Pokoknya lo cuciin baju gue sampe bersih!”
“Siapa lo nyuruh-nyuruh gue seenaknya?”
“Kalo gue dimarahin guru gimana? Lo mau tanggung jawab? Hah? Lo tuh nyebelin banget sih?”
“Ya udah, tinggal buka aja baju lo!”
“Lo gila ya? Masa gue buka baju di depan umum?”
“Heh, denger ya cewe nyebelin, maksud gue lo buka baju lo, terus pake baju gue. Gue bawa baju cadangan. Makanya, denger dulu sampe beres!”
“Boleh deh, daripada kena hukuman. Asal baju lo nggak bau.” Jawabku.
“Enak aja! Gue cowo terkeren dan terwangi satu sekolah, tau! Aku pergi ke toilet dan berganti pakaian. Begitu aku keluar toilet, cowo itu ada di depan pintu.

“Ngapain lo? Ngintip ya?” tanyaku curiga.
“Dih,geer lo! Hahaha, lo dimakan baju ya?” ledeknya.
“Baju lo kegedean”, jawabku.
“Ya udah, mana baju lo yang kotor?” tanyanya.
“Buat apaan?” aku heran.
“Katanya mau dicuci?”
“Nggak usah, tadi Cuma gertakan biar lo minta maaf. Jangan dianggap serius.” elakku.

Ia merebut tasku dan mengambil bajuku.
“Nggak apa-apa. Gue cuciin. Oh ya, nama lo siapa? Nomor handphone lo berapa?” tanyanya.
“Gue Ajeng. Ngapain lo nanya nomor gue?” tanyaku penuh curiga.
“Ooh, feminim banget nama lo. Beda banget sama sifat lo yang galak.” ledeknya.
“Yeeh, jangan geer dulu, ini buat ngabarin soal baju lo! Tapi kalo lo mau SMS-an juga nggak apa-apa. Gue nggak keberatan, gue kan baik hati.”
“Idih, lo tuh kepedean banget sih? Nomor gue 0-8-2-1-1-1-2-0-0-9.” kataku.
“Oke udah gue save. Kalo gue, 0-8-0-8-0-6-2-0-1-0. Nggak sembarang orang tau nomor gue. Jadi, simpen baik-baik.” celotehnya.
“Iya, bawel banget sih lo? Baru sekarang gue ketemu sama cowo sebawel lo!” gerutuku.
“Hahaha, biarin. Gue Yudha. Ya udah, dadah!”.

Ia pun berlalu meninggalkanku.
“Heh! Ajeng! Dari tadi gue nanya, lo malah ngelamun.” Angel menepuk bahuku.
“Hah? Apa? Lo nanya apa?” tanyaku kaget.
“Bagus ya! Dari tadi gue tanya lo nggak dengerin!” Angel kesal.
“Maaf Angel.” kataku bersungguh-sungguh.
“Iya, iya gue maafin. Eh, baju lo kok nggak kaya biasanya? Jadi lebih gede gitu. “ tanya Angel heran.
Aku pun menceritakan kejadian tadi pada Angel. Semuanya. Tak ada yang terlewat sedikitpun. Angel hanya mendengar dengan terus tersenyum-senyum sendiri mendengarnya. Aku tak mengerti apa maksudnya.
“Wow! Lo hebat, Jeng.” katanya setelah aku usai bercerita.
“Maksud lo? Hebat kenapa?” tanyaku tak mengerti.
“Lo udah memecahkan rekor! Selama ini, Yudha nggak pernah ngobrol sama cewe, selain Vita. Jangankan ngobrol, disapa aja paling dia Cuma senyum doang.” jelas Angel.
“Hah? Selebay itu kah? Biasa aja ah!” jawabku, santai.
“Dasar! Sok jual mahal lo!” Angel mendorong lembut tanganku.
“Hehehe…” aku hanya bisa nyengir.

***

Sepulang sekolah, aku pulang ke rumah lalu istirahat sebentar. Aku harus membuat gorengan untuk dijual nanti malam. Aku sudah terbiasa menjajakan dagangan. Ya, meskipun lelah, ini semua demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Heh! Mana setoran hari ini?” tiba-tiba preman datang menghampiriku.
“Ma…maaf , Bang. Sekarang belum ada.” Jawabku terbata-bata.
“Nggak usah banyak alasan!” preman itu marah dan mengacak-acak semua daganganku. “Jangan, Bang! Itu buat dijual.”
“Jangan ganggu Ajeng!” teriak seorang cowo.

Dan…. BUUKK @%#^%&%#!! Terjadi perkelahian.
“Udaah! Cukup! Berhenti!!!” aku menangis. Preman itu kabur. Aku menghampiri cowo tadi yang babak-belur dipukuli preman.
Ternyata dia Yudha.
“Yudha, lo nggak apa-apa? Bangun, Yud!” Aku takut dan menuntun Yudha ke rumah. Ku dudukkan Yudha di kursi, ku obati wajahnya yang babak-belur ditonjoki preman.
“Aww! Pelan-pelan dong!” Yudha memegang tanganku. Ia menatapku dengan cahaya redup di matanya. Jantungku berdebar. Dunia serasa berhenti berputar.
“Ya, tahan aja! Kalo nggak diobatin nanti malah makin sakit.” kataku.
“Ya, tapi pelan-pelan.”
“Lagian lo juga sih! Sok jadi pahlawan ngelawan preman-preman itu. Jadi gini kan?” celotehku.
“Lo tuh ya! Udah gue bantuin, bukannya terimakasih, malah ngomel-ngomel! Dasar cewe aneh!” jawabnya.
“Kenapa lo bantuin gue?” tanyaku penasaran.
“Gue nolong lo tulus. Kita temenan ‘kan?” Ia mengacungkan jari kelingkingnya. Aku menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingkingku di jari kelingkingnya. Kami berdua tersenyum bersama.

***

Tak terasa, sudah beberapa bulan ini, aku berteman dengan Yudah. Setiap pulang sekolah ia mengantarku sampai rumah. Hari ini pun, ia tiba-tiba menarik tanganku begitu aku keluar kelas.
“Ayo ikut gue!” ajaknya.
“Kemana? Mau apa?” tanyaku heran.
“Ajeng, gue sayang lo! Gue akan kasih 15 menit terindah. Lo tau? Cintailah orang yang lo sayangi dan anggap lo nggak akan ketemu dia lagi.”
“Iya, tapi kemana? Maksud lo apa sih? Gue nggak ngerti.”
“Ayo ikut aja, bawel!”.
Yudha menarik tanganku. Ia mengajakku ke sebuah taman yang asri, damai, dan tak ada orang lain. Hanya kami berdua. Aku melihat sekeliling, menghirup udara sejuk yang damai.
“Apa yang akan lo lakuin, kalo lo dikasih kesempatan terakhir bersama orang yang lo sayang?” tanya Yudha.
“Hmm, siapa ya orang yang gue sayang?” pikirku memanas-manasi.
“Rese lo!” Yudha berjalan menjauh. “Gue sayang lo, Yudha.” ucapku malu-malu. Yudha berbalik dan menghampiriku.
“Oh ya? Tapi gue nggak.” katanya, santai.

Aku kaget mendengarnya, tapi ia tersenyum. Alisku mengerut, tak mengerti apa yang dikatakannya.
“Udah deh! Nggak usah ketakutan gitu. Maksud gue, gue sangat sayang sama lo!”
Kurasa mukaku mulai memerah karena malu. Kata-katanya itu membuat jantungku berdebar. Ingin rasanya hidup ini berakhir sampai disini. Berakhir bahagia.
“Dan nggak ada yang bisa nyakitin lo! Biar bokap gue sekalipun. Karena gue nggak akan pernah menyerah buat menjaga lo, di samping lo.” ucapnya lagi.

Ya, papanya Yudha memang tak suka padaku. Alasannya hanya karena aku miskin dan tak selevel dengan Yudha. Tapi, demi cintaku, aku tak kan pernah menyerah. Kami pun melepas semua perasaan masing-masing. Kami dapat tertawa dengan lepas tanpa beban. Yudha menyewa tukang foto untuk mengabadikan ini semua.
“Difoto sama orang yang gue sayang, nggak ada yang bagus!” gerutuku.
“Yang penting bukan fotonya, tapi kebersamaan kita.” kata Yudha tulus.
“Foto ini, lo aja yang simpan. Jaga baik-baik.”
“Lo nggak mau nyimpen ini, karena guenya jelek-jelek ya?”
“Nggak, lo tetap sempurna di mata gue. Gue udah simpan semuanya di hati gue. Dan nggak akan pernah hilang.”
“Ini adalah 15 menit terindah yang pernah lo kasih dalam hidup gue, Yud!”
“Bagi gue, saat saat bersama lo adalah hal terindah.” tuturnya. “Lima belas menit ini, udah selesai.” Yudha pun berlalu.
“Makasih, Yudha.”

***

Malam ini, seperti biasa aku berkeliling menjajakan gorengan. Tapi, kali ini berbeda. Aku berjualan dengan perasaan berbunga-bunga. Bayangan Yudha masih teringat jelas di benakku. Yang ku pikirkan hanyalah Yudha, Yudha, dan Yudha.
Oh, apakah ini yang namanya jatuh cinta? Sampai akhirnya aku bertemu dengan papa nya Yudha. Beliau memberhentikan mobilnya tepat di depanku. Aku takut, ketika Om Dharma, papa Yudha membuka kaca jendelanya.
“Masih juga kamu berjualan keliling?” tanyanya.
“E..eh iya Om. Om mau? Kue?” tanyaku gugup.
“Saya tidak mau kue. Saya hanya mau kamu jauhi anak saya.”
“Tapi Om, salah saya apa?” “Kesalahanmu adalah miskin!” “Itu nggak adil Om, kalu saya boleh memilih saya juga nggak mau kayak gini.”
“Terserah kamu, yang penting jauhi Yudha! Kalau tidak, saya bisa saja membuat semua teman kamu menderita!” ancam Om Dharma.
“Jangan Om, Om boleh marah sama saya. Tapi tolong Om, jangan sakiti teman-teman saya.” pintaku.
“Marah? Saya tidak marah. Saya mau kamu jauhi Yudha!” kata Om Dharma lagi dengan nada penuh penekanan. Beliau pun menjalankan mobilnya lagi. Meninggalkan ku yang terpaku tak bisa berkata apa-apa.

***

Esoknya, Yudha pergi ke rumah Ajeng.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” jawab Tante Dara, tantenya Ajeng seraya membukakan pintu.
“Oh, ‘nak Yudha.” sapanya ramah.
“Ajengnya ada, Tante?”
“Oh, sebentar ya, Tante panggilkan.” ujar Tante, lalu masuk.
“Nak Yudha, Ajeng nggak ada di kamarnya. Yang ada hanya surat ini.” tutur Tante cemas.
Yudha membuka surat itu, dan membacanya:

Tante, maafin Ajeng yang harus pergi diam-diam tanpa pamit. Ajeng Cuma mau nenangin diri dulu dari semuanya. Bukannya mau menghindar dari masalah, tapi mempersiapkan diri mengambil keputusan yang terbaik. Selama Ajeng nggak ada, jaga diri Tante baik-baik ya.
Ajeng


“Ya ampun Ajeng! Tante tenang aja, Yudha akan cari Ajeng sampai ketemu.” Tekad Yudha.

***

“Apa? Ajeng kabur?” semua teman-teman yang lain kaget mendengarnya.
“Kita harus cari! Kita sebarin selebaran ke semua tempat!” dengan semangat, semua teman-teman mencari Ajeng. Tapi tak membuahkan hasil yang memuaskan.
“Udah seminggu lo nggak ada, Jeng. Lo dimana? Gue kangen banget sama lo.” kata Yudha.
“Gue disini Yud, gue juga kangen sama lo. Gue udah cape Yud. Tadinya, gue kira dengan pergi, gue bisa tenang. Ternyata nggak. Gue malah selalu kepikiran lo sama yang lainnya.” kata Ajeng yang tiba-tiba muncul.
“Ajeng! Akhirnya lo pulang!” Angel memeluk Ajeng.
“Kita seneng banget lo ada disini lagi, Jeng.”
“Ya ampun, cewe aneh! Kemana aja sih lo? Bikin gue cemas tau nggak? Gue tuh kangen sama semua kegalakan lo!” tutur Yudha.
“Gue nggak akan pergi lagi. Maafin gue ya.”

Di saat semuanya sedang berkumpul melepas rindu, Om Dharma datang.
“Maafkan saya Om.” kata Ajeng.
“Kamu nggak salah. Om yang salah. Om sadar, semuanya nggak bisa diukur dengan harta. Kamu anak yang baik, Ajeng. Maafkan Om ya.”
“Sama-sama Om.”
“Yey, sekarang kita udah direstui, Jeng!” teriak Yudha senang.
“Iya, tapi lo balikin dulu baju seragam gue!” ucapku.
“Hehehe, gue lupa belum dicuci.”
“Hah? Selama itu kah?” teriakku kaget.

No comments:

Post a Comment