Saturday, August 28, 2010

KADO TERAKHIR UNTUK RISA

Tulisan Nurisya Febrianti

Aku terbangun di pagi hari yang cerah.

Sinar matahari menembus masuk ke dalam kamarku melalui jendela dan menyinari sebagian dinding kamarku. Dinding kamarku yang berwarna pink entah bagaimana bisa terlihat sangat indah saat terpapar sinar mentari pagi.

Aku tersenyum seraya bangkit berdiri dan berjalan menuju jendela.

Kamarku terletak dilantai dua dan jendelaku menghadap langsung ke taman kompleks. Kusingkap tirai dan seketika mataku terkunci pada pemandangan di taman.

Di sana terlihat sekelompok anak berusia 9 tahun yang sedang asyik bermain, berlari, dan tertawa-tawa tanpa beban. Pipi mereka yang gemuk bersemu kemerah-merahan terkena sinar matahari.

Serta-merta perasaan iri menyusup dalam diriku.



Aku Rissania Vera. Di usiaku yang hampir mencapai 17 tahun ini, aku tidak memiliki sahabat. Aku tidak memiliki teman. Aku juga tidak memiliki pacar.

Yang kumiliki hanya kasih sayang dari seorang Bunda dan seorang saudara kembar yang selalu senantiasa menemaniku, menjagaku, dan menyayangiku setulus hatinya.

Aku bisa bicara. Aku bisa berjalan. Aku bisa melihat. Aku memiliki wajah cantik dan juga keluarga yang berkecukupan. Sama seperti anak-anak itu.

Tapi untuk apa semua itu ada jika aku tidak memiliki ginjal? Untuk apa semua itu ada jika aku hanya bisa menghabiskan waktuku di dalam kamar dan Rumah Sakit? Dan untuk apa semua itu ada jika aku tidak mungkin menikmatinya?

Sia-sia. Semuanya sia-sia.

Aku tertawa miris dalam hati. Betapa indahnya dunia jika kau bisa tertawa sesuka hatimu, menjejakkan kakimu di alam bebas, dan menatap langit biru tak berbatas dengan matamu.

Tanpa sadar air mata kesedihan kembali mengalir membasahi wajahku. Isak tangis penderitaan itu kembali menyesakkan dadaku.

Aku membiarkan kesedihan kembali menggerogoti hatiku, menyusup ke dalam jiwaku, mengoyak-ngoyak pembuluh darahku, dan menghambat laju aliran napasku.

Memang apalagi yang bisa kulakukan selain meratapi nasib?



Tiba-tiba kurasakan sepasang lengan kokoh meraihku ke dalam dekapannya. Mencoba menenangkanku. Menghiburku.

"Jangan menangis, Rissa. Jangan menangis." bisik Kak Renal lembut.

Aku menggeleng dengan frustasi, "Kakak nggak tahu rasanya jadi aku! Kakak nggak ngerti!" jeritku.

Tangannya semakin erat memelukku dan aku menumpahkan semua air mataku di bahunya.

"Jangan sedih, Rissa. Semua akan baik-baik saja. Percaya sama aku." ucapnya sungguh-sungguh.

Namun aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Karena semuanya berubah menjadi gelap untukku.



***



Aku merasa ada seseorang yang menggenggam tanganku. Aku membuka mataku perlahan dan melihat langit-langit kamar yang berwarna putih. Aku langsung tahu ini adalah rumah sakit.

"Rissa?" panggil Kak Renal pelan.

Aku menoleh ke arahnya dan mencoba tersenyum kecil.

Kakak kembarku ini bernama Renaldy Alfred Gunawan. Dia laki-laki yang sempurna. Tak ada sedikitpun kekurangan dalam dirinya. Tidak seperti aku.

Baru kusadari seluruh tubuhku di penuhi selang-selang yang menghubungkan kondisiku dengan monitor.

"Berapa lama aku disini?" tanyaku lirih.

"Lima hari." jawab Kak Renal seraya membelai rambutku lembut.

Apa? Aku tidak sadarkan diri selama lima hari?

Lalu Kak Renal melanjutkan, "Minggu depan kamu akan menjalani operasi pencangkokan ginjal. Jadi, kamu harus siap-siap ya. Tadi Kakak sudah memberitahu Mami." kata Kak Renal seraya menyunggingkan senyum tenangnya yang selalu bisa membuat hatiku bahagia. Tapi tidak kali ini.

Aku mengerutkan kening, "Memangnya ada orang yang dengan rela mendonorkan ginjalnya?" tanyaku bingung.

Kak Renal kembali tersenyum, "Ada. Kamu tenang aja. Semua pasti akan berakhir dengan baik." jawabnya pelan.



Perlahan Kak Renal memelukku, mendekapku lembut di dadanya.

"Rissa, kamu harus janji sama Kakak. Kamu akan tetap baik-baik aja. Kamu akan tetap tersenyum dan memandang langit biru tanpa kesedihan. Kamu akan tertawa, berlari, dan melanjutkan hidup kamu layaknya remaja lainnya. Kamu harus berjanji, apapun yang terjadi, kamu akan selalu bahagia dalam hidup kamu. Kamu harus janji, Rissa." ucapnya serius. Nadanya dipenuhi dengan berbagai emosi yang tak bisa kugambarkan.

Aku tertegun mendengarnya. Entah mengapa, kurasa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi disini.

"Rissa, kamu janji kan?" tanya Kak Renal sambil melepas pelukannya dan menatapku lekat-lekat.

Aku terdiam. Aku memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Tapi ketika kutatap mata teduh sarat akan kejujuran milik Kak Renal, hatiku seakan diliputi keyakinan bahwa semua baik-baik saja.

Aku memilih untuk mengenyahkan perasaan aneh itu. Lalu lambat-lambat aku mengangguk pelan.

"Aku akan berjanji tentang hal apapun, asalkan Kak Renal selalu ada disamping aku." janjiku sambil tersenyum lembut.

Kak Renal mengecup keningku, lalu berbisik, "Kakak akan selalu ada dihati kamu."





***



Sepuluh hari kemudian. . .

Aku membuka mata perlahan. Entah untuk yang keberapa kalinya dalam hidupku ini.

Tapi kali ini bukan Kak Renal orang yang pertama kulihat. Bukan senyum tenangnya yang menyapaku diawal kesadaranku. Dan juga bukan tangan hangatnya yang menggenggam tanganku seperti biasanya.

"Rissa?" panggil Mami lembut. Wajahnya menyiratkan duka mendalam, meskipun begitu semburat lega tetap muncul diwajahnya.

"Dimana Kak Renal?" tanyaku lirih.

Mami tersenyum lelah, "Dia baik-baik aja. Dia sekarang bahagia. Sama seperti kamu. Kamu tenang aja, sayang." jawab Mami pelan.

Serta-merta firasat buruk membayangi perasaanku. "Mami, dimana Kak Renal? Kenapa dia nggak ada disini?" tanyaku mulai panik.

Mami mulai menangis dan menutup wajahnya. Satu suara lirih berbisik dihatiku. Dan aku merasakan ada sesuatu yang menghilang dari dalam ragaku. Seperti separuh nyawaku lenyap. Hilang.

Apa? Ada apa? Kenapa?

Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Hati kecilku terus membisikkan jawaban. Tapi aku tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Tidak. Itu pasti hanya perasaanku saja.

Mami menyerahkan satu amplop berwarna kuning yang sedari tadi dipegangnya. Perlahan kubuka amplop itu. Ada tiga lembar kertas didalamnya yang berisi tulisan tangan Kak Renal.

Kubuka lipatan kertas itu dan kubaca lembar pertama dengan tangan gemetar.





Rissa..

Saat kamu membuka surat ini, pasti aku sudah tidak ada disamping kamu.

Aku minta maaf karena tidak bisa merayakan hari ulang tahun kita bersama-sama.

Tapi aku harap, hadiah yang aku berikan cukup untuk menggantikan ketidak hadiranku.

Rissa, ada satu hal yang tidak pernah aku ceritakan pada kamu.

Dulu, pada tanggal 1 Februari 1993, telah lahir bayi kembar.

Bayi itu kemudian diberi nama Renal dan Rissa. Kamu tentu tahu itu.

Tapi sebenarnya perut kita menyatu. Kita ini kembar siam.

Setelah dilakukan pemeriksaan, kita bisa dipisahkan. Hanya saja salah satu dari kita akan kehilangan satu ginjalnya. Karena di perut yang menyatu itu hanya terdapat tiga ginjal.

Jadi terpaksa, salah satu dari kita harus hidup dengan satu ginjal.

Akhirnya Papi dan Mami memilih untuk memberikan aku dua ginjal dan mengorbankan kamu. Sungguh, seandainya saat itu aku tahu dan mengerti, aku tidak akan pernah mengorbankan kamu.

Aku benar-benar minta maaf, Rissa. Karena aku, kamu harus merasakan kesedihan dalam hidup kamu, dan kamu juga harus kehilangan masa-masa indah yang seharusnya kamu rasakan. Maafkan aku.

Tapi sekarang aku sudah mengembalikan ginjal kamu. Anggap saja, ini sebuah hadiah ulang tahun terbaik yang bisa aku berikan....



Aku menangis tersedu-sedu. Otakku seakan berhenti berpikir. Dan yang kutahu hanya rasa sedih tak berujung ini. Lalu kubuka lagi lembar selanjutnya.



Kamu pernah bertanya pada Kakak, apakah ada orang yang dengan rela memberikan ginjalnya untuk kamu?

Tentu saja ada. Orang itu dengan bersuka rela akan memberikan apapun untuk kamu. Dia tidak hanya akan memberikan ginjalnya, tapi dia juga akan memberikan seluruh hidupnya untuk kamu.

Kamu tahu kenapa? Karena dia sangat menyayangi kamu. Sangat amat.

Maafkan aku jika saat ini aku membuat kamu menangis. Tapi percayalah padaku, aku melakukan semua ini untuk kebaikan kamu. Aku yakin, inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk kita.

Terima kasih untuk tujuh belas tahun kehidupan yang sangat indah. Terima kasih untuk kasih sayang dan kepercayaan yang kamu berikan padaku.

Setelah ini, berjanjilah bahwa kamu akan baik-baik saja. Bahwa kamu akan tersenyum dan menatap langit biru tanpa kesedihan. Bahwa kamu akan melanjutkan hidup kamu layaknya remaja lainnya.

Berbahagialah untukku...





Isak tangisku semakin keras. Ya Tuhan, mengapa Kak Renal harus melakukan ini? Tidakkah ia tahu aku sangat membutuhkannya?

Dengan hati yang sudah luluh lantak tak bersisa, kubuka lembar terakhir.





Percayalah padaku..

Walaupun ragaku tak mungkin lagi kau lihat, kau sentuh, dan kau peluk, jiwaku tetap tinggal disini bersamamu..

Percayalah padaku..

Walaupun dunia berubah hingga tak lagi kau temukan cinta, cintaku tak kan pernah terhapus untukmu.. Cintaku tetap abadi, bersemi dalam relung jiwamu..

Dan percayalah padaku..

Walaupun aku tak akan bisa lagi menemanimu, menjagamu, dan berada disisimu, aku akan selalu ada di dalam hatimu..

I love you..



Renaldy Alfred Gunawan



***





Satu Bulan kemudian. . . .

Hari ini aku berdiri dihadapan makam Kak Renal. Angin sore yang berhembus seakan mencoba menenangkan batinku. Perlahan, aku duduk bersimpuh di samping makam Kak Renal dan mengelus permukaan batu nisannya.

Tertulis disana :



Renaldy Alfred Gunawan

01.02.1993 - 01.02.2010



Dia adalah lelaki terbaik yang pernah terlahir di dunia ini.

Dia adalah kakak terhebat yang pernah dimiliki seorang adik.

Aku yakin, Tuhan akan memberikan tempat terbaik untuknya.

"Sekarang aku tahu apa arti nama Kakak." ucapku seraya tersenyum lembut.

"Renal. Diambil dari nama lain ginjal. Kakak diberi nama itu agar bisa menjadi ginjal di dalam kehidupanku. Dan benar, memang begitu kenyataannya." lanjutku pelan.



Aku menarik napas dalam, "Kakak keliru saat mengatakan bahwa Kakak membuatku sedih, padahal sebenarnya Kakak lah yang membuatku bahagia. Kakak juga keliru saat mengatakan bahwa Kakak membuatku kehilangan masa-masa indahku, padahal sebenarnya masa-masa indah itu aku rasakan saat ada Kakak di dalam hidupku." celotehku lirih.

Kuletakkan buket bunga matahari yang kubawa diatas makamnya, lalu aku bangkit berdiri dan berbisik pada angin sore yang membawa pesanku ke surga, "Thanks for loving me that much."

Satu kertas yang kuletakkan dibawah buket bunga, terbang ke langit tertiup angin.

Aku membalikkan tubuh dan mulai berjalan menjauh. Meninggalkan cintaku bersama seorang Renaldy Alfred Gunawan. Kakak terbaikku.





Aku percaya padamu..

Meskipun mentari tak kan memberikan sinarnya, rembulan meredupkan cahayanya, dan bintang menutupi kilaunya, jiwamu selalu ada bersamaku..

Aku percaya padamu..

Meskipun seluruh dunia membenciku, memusuhiku, dan ingin melukaiku, kau akan selalu menyayangiku, menjagaku, dan mencintaiku setulus hatimu..

Dan aku percaya padamu..

Meskipun dirimu meninggalkan dunia ini, kau akan selalu hidup di dalam hatiku..

I love you..



Rissania Vera





~TAMAT~

No comments:

Post a Comment